Megawati, SBY dan Jokowi



Tulisan ini untuk menanggapi tulisan Anton Dwisunu yang berjudul “Dangkalnya Komunikasi Politik Tjipta Lesmana” yang isinya begitu mengkultuskan Megawati dan juga Jokowi.


Menurut saya, Presiden pertama kita Bung Karno (demikian beliau selalu ingin dipanggil oleh kerabat serta rakyatnya dulu, sebelum beliau disibukan oleh wanita-wanita disekelilingnya, dan mulai termakan oleh para penjilat disekitarnya, sehingga beliau mulai senang dengan panggilan yang absurd seperti : Paduka Yang Mulya, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Pemimpin Besar Revolusi, Putra sang Fajar dan lainnya, juga gaya berpakaianpun dirubah, walau bukan militer, Bung karno senang mengenakan atribut militer), Bung Karno tidak pernah mempersiapkan anak-anaknya untuk terjun ke dunia politik, bahkan Guntur anak sulung, juga tidak pernah berkiprah dipanggung politik. Kelebihan Bung Karno adalah pada orasinya yang selalu menimbulkan eforia masyarakat. Dalam setiap pidatonya pasti muncul istilah-istilah baru yang menyemangati masyarakat walaupun saat itu sedang dibelit persoalan ekonomi yang sangat parah dimana inflasi bahkan mencapai 300%. Istilah-istilah dalam pidato tersebut diantaranya ; Jasmerah (jangan sekali-kali melupakan sejarah), tavip (tahun vivere pericoloso), Nasakom (Nasionalis, Agamis, Komunis), Sontoloyo, Manikebu (Menifesto Kebudayaan), Sarinah (Siapa Anti Revolusi Indonesia Niscaya Akan Hancur) dan lainnya. Sampai akhirnya Bung Karno dilengserkan oleh demo Mahasiswa tahun 1966 yang diprakarsai ABRI dan CIA, menurut beberapa peneliti sejarah. Ini dikarenakan politik Bung Karno mulai cenderung kekiri (komunis) yang saat itu menjadi musuh utama Amerika. Dengan semua kekurangan Bung Karno, rakyat Indonesia tetap menghormatinya sebagai pemimpin kemerdekaan Indonesia.


Di era orde baru yang banyak menyakiti hati rakyat Indonesia dengan sifat otoriter dan militerismenya, Saat itu hanya 3 partai politik yang diperbolehkan, yaitu Golkar yang digunakan penguasa orde baru yang didominasi ABRI, sebagai kendaraan politiknya, PDI sebagai wakil dari paham Nasionalis (bercampur dengan partai agama selain Islam), kemudian PPP (fusi dari beberapa partai Islam). Pada dasarnya diciptakan PDI dan PPP oleh penguasa orde baru hanya untuk membuat legitimasi, bahwa sisitim politik sudah demokrasi. Pada prakteknya semua hasil dari suara rakyat dalam pemilu adalah rekayasa orde baru. Bung karno yang telah dilengserkan, dihinakan sedemikian rupa, sehingga menimbulkan kebencian mendalam dari rakyat yang masih menghormati Bung Karno terhadap pemerintah orde baru. Untuk dimengerti juga bahwa tidak ada pemimpin partai tanpa persetujuan dari Presiden Suharto sebagai kepala pemerintah rezim orde baru, yang kala itu demikian berkuasanya.


Suryadi, seorang politikus tulen, yang dipertengahan tahun 80an menjadi ketua PDI, mulai memunculkan Megawati kekancah politik sebagai pendulang suara untuk PDI, Suryadi mengerti, bahwa banyak rakyat yang akan memilih PDI, karena Megawati. Rakyat beranggapan bahwa keluarga Sukarno yang telah dihinakan oleh penguasa orde baru adalah orang-orang yang terzalimi. Suryadi berhasil mendulang suara, dan Megawati menjadi anggota DPR/MPR. Selama menjabat anggota DPR/MPR tidak pernah ada kedengaran suara Megawati yang bernada perlawanan terhadap orde baru.


Suharto yang melihat ulah Suryadi, berusaha menjatuhkan Suryadi dari ketua PDI, dan menjagokan Budi Harjono dalam kongres PDI di Medan. Karena Suryadi tetap bertahan, maka tidak ada keputusan dalam kongres di medan. Kemudian kongres dilanjutkan di Surabaya, dimana masa rakyat sudah mulai melihat Megawati sebagai symbol perlawanan terhadap orde baru, sehingga akhirnya Megawati terpilih sebagai ketua PDI. Pemerintah orde baru tidak mengakui PDI dibawah Megawati, sehingga berganti nama menjadi PDIP. Suryadi yang terdepak berusaha mendekat lagi kepada penguasa orde baru, sampai akhirnya terjadi peristiwa penyerbuan kantor PDIPdi jalan Diponegoro dan jatuh korban yang sangat banyak yang merupakan rakyat simpatisan Megawati.


Di era PDIP sebelum tubangnya orde baru, tidak terlihat aktivitas dari Megawati yang mencerminkan dirinya seorang politikus ataupun negarawan. Yang lebih banyak berkiprah adalah Amin Rais sehingga dijuluki pelopor reformasi. Dalam Pemilu 1999 dimana PDIP mendapatkan mayoritas suara pemilih, karena kurangnya komunikasi Megawati terjadilah kecelakaan politik dimana Gus Dur yang naik menjadi Presiden, bukannya Megawati yang partainya menguasai mayoritas di parlemen. Setelah Gus Dur dilengserkan, Megawati naik menjadi Presiden, dengan suara mayoritas rakyat dan kekuasaan ditangannya, harapan rakyat kepadanya sangat besar untuk membawa perubahan berarti dari perjalanan bangsa ini. Kenyataannya jauh panggang dari api, jangankan membawa bangsa yang lebih baik, peristiwa penyerbuan kantor PDI yang telah menewaskan ratusan pendukungnyapun tidak dituntaskan. Sampai saat ini para pelaku penyerangan kantor PDIP masih bebas dan keluarga para korban masih tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi pada para korban. Disini mulai timbul kekecawaan rakyat terhadap Megawati, ditambah dengan trik yang dilakukan oleh SBY saat menjadi Menteri, sehingga menimbulkan kesan bahwa SBY adalah orang yang terzalimi. Sama seperti terpilihnya Megawati karena rakyat merasa dia dizalimi pemerintah orde baru, maka SBY pun naik pamornya karena dianggap dizalimi oleh pemerintahan Megawati. Contoh para petani di bantul yang berlarian mendekati Megawati, tidak bisa dibuat acuan hal tersebut mencerminkan Megawati dicintai rakyat. Penyanyi dangdut maria Eva, sehabis tenar lewat video mesumnya, saat Maria Eva jalan-jalan kekampungnya di tanggulangin yang kena lumpur lapindo, banyak ibu-ibu petani yang minta foto bersama.


Bila Megawati benar-benar dicintai rakyatnya, dia tidak akan kalah dalam pemilu presiden langsung 2004 oleh SBY. Kemudian perolehan partainya tidak akan melorot jauh dalam pemilu 2009.


Kalau Jokowi, sangat berbeda dengan Megawati, dengan gayanya yang lugu saat menjabat walikota Solo dan gaya demikian jarang ditemukan pada para pejabat diseantero negeri, ditambah dengan liputan media yang begitu besar, maka naik lah pamor Jokowi. Bila dilihat dengan prestasinya, selama jadi walikota sepertinya biasa-biasa saja. Yang dihebohkan adalah saat Jokowi memindahkan pedagang pasar lewat komunikasi yang baik, perseteruannya dengan Bibit Waluyo gubernur Jateng saat itu yang menyebabkan dia jadi terzalimi serta mobil esemka yang tidak ketahuan lagi beritanya.


Setahun menjabat Gubernur DKI juga belum ada prestasinya yang bisa dibanggakan, selain dari sibuk blusukan dan sidak ke kecamatan dan kelurahan. Bayangkan saja ada 44 kecamatan dan 260 kelurahan, kalau sidak terus dan blusukan terus bagaimana dia memenej pemerintahan. Peruntukan anggaran pembersihan waduk pluit dan waduk Riario masing-masing 1Rp 1 trilyun, sudah diketahui hanya menyenangkan para orang kaya non-pri yang tinggal disekitar waduk. Bandingkan dengan dana yang diperuntukan untuk pengerukan semua kali di Jakarta yang hanya Rp 30 milyard padahal mencakup hajat hidup orang banyak. Apakah ini yang dikatakan program membela rakyat kecil. Juga tindakan Jokowi beserta wakilnya Ahok banyak melukai persaaan umat Islam seperti mengangkat lurah non Muslim di tengah mayoritas umat Islam. Merobohkan 2 buah mesjid bersejarah tanpa ada komunikasi dengan ulama dan umat Islam sekitarnya. Padahal beritanya ketika menjadi walikota Solo, Jokowi mengundang makan para pedagang yang akan dipindah lokasinya sampai 52 kali undangan. Tapi saat dia merobohkan 2 Mesjid bersejarah, dia tidak merasa perlu berkomunikasi dengan umat Islam disekitarnya. Disaat para ulama di Jakarta mengumandangkan nasihat agar tidak berhura-hura di malam tahun baru, Jokowi malah menghidupkan kembali malam muda-mudi di jalan Thamrin yang sempat berhenti setelah Ali sadikin lengser. Setelah malam muda-mudi yang digelar Jokowi, banjir datang menimpa, jalan Thamrin yang tidak pernah mengalami banjir, malah tertutup oleh banjir. Jakarta masih macet dan semrawut, musim hujan sudah diambang pintu akankah banjir masih datang.





sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/11/07/megawati-sby-dan-jokowi-607353.html

Artikel Terkait:

 

Kompasiana Blog Copyright © 2014 -- Powered by Blogger