Meski Hanya Pembuat Batu Bata, Dia Tak Lupa Bersyukur



13838370061669109861

Marna, wanita Madura yang gigih bekerja membantu keuangan suaminya di Samarinda. Foto pribadi.



Apapun pekerjaan yang bisa dilakukan, asalkan halal dan membawa manfaat harus selalu disyukuri. Seperti kisah Marna (40), warga Jalan Padat Karya, Kelurahan Sempaja Utara, Kecamatan Samarinda Utara-Kaltim, yang sehari-harinya bergelut dengan batu bata.


***

POSISI matahari tepat berada di atas ubun-ubun ketika saya menghampiri Marna, di kediamannya yang sekaligus tempat dia mengolah tanah menjadi batu bata. Marna kala itu menggunakan baju kaos putih dengan sarung bercorak batik yang menutupi bagian bawah badannya.

Dengan senyum ramah bersama anak gadisnya, saya disambut tanpa menanyakan identitas orang yang sedang mendatanginya. Sambil mengolah bahan dasar batu bata, dia tampak tetap waspada saat Sapos mulai menyapanya. “Alhamdulillah ini cetakan yang terakhir untuk hari ini,” ucapnya memulai percakapan.

Setelah memperkenalkan diri, saya mulai melontarkan beberapa pertanyaan dan dijawab dengan santai. Sesekali pertanyaan saya dijawab dengan senyum dan tawa kecil. “Saya sudah kira-kira 15 tahun bekerja sebagai pembuat batu bata. Memang hanya ini yang bisa saya kerjakan,” ungkapnya.

Marna, istri dari Asmadi (45), cukup bahagia dengan pekerjaan yang sedang digelutinya. Dia tidak berniat beralih profesi dan mensyukuri pekerjaanya sekarang. Meski hanya sebagai pembuat batu bata, Marna justru bersyukur karena masih bisa bekerja dan membantu suami. “Bisa bekerja saja sudah bahagia. Ini sudah cukup bagi saya,” terangnya.

Dalam membuat batu-bata, sehari Marna bisa memproduksi 200-300 biji. Sedangkan upah yang diterima untuk 1.000 batu bata mencapai Rp 200 ribu. Untuk sebulan, Marna mampu memproduksi hingga 1.000 biji. “Itu kalau cuaca mendukung. Tidak hujan dan lebih sering panas. Sebab selain mencetak batu bata, kita juga masih harus menjemur hingga berminggu-minggu,” urainya.

Marna menjelaskan saat saya menanyakan proses pembuatan batu bata hingga siap dijual. Pertama, tanah dicangkul dan diaduk menggunakan air. Tujuannya agar bahan dasar pembuatan batu-bata itu menjadi empuk. Kemudian bahan tersebut dicampur dengan serbuk kayu. Selanjutnya bahan dimasukkan ke dalam cetakan dan lalu ditekan agar padat. Setelah berbentuk batu bata, bahan itu dijemur di bawah terik matahari. Menjemur batu bata memerlukan waktu yang tidak sebentar. Agar maksimal, perlu waktu sekitar 1 bulan hingga siap diangkat. “Proses terakhir yakni membakar batu bata. Prosesnya sekitar lima hari lima malam. Dibakar agar batu menjadi keras. Sebab kalau tidak dibakar batu bata itu akan hancur kalau kena air,” jelasnya.

Disinggung mengenai kampung halaman, Marna sangat rindu sanak keluarganya di Pulau Madura. Namun apa daya, karena ongkos pulang yang cukup mahal terpaksa sudah tiga tahun belakangan ini dia dan keluarganya tidak mudik. “Kalau mau pulang, minimal harus punya uang Rp 5 juta. Kalau pulang pergi hitung saja. Itu belum termasuk biaya di kampung,” pungkasnya.


Kalau Marna saja yang hanya bekerja sebagai pembuat batu bata tetap mensyukuri nikmat Allah, mengapa kita tidak?


:) Maka nikmat tuhan yang manakah kau dustakan :)



sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/07/meski-hanya-pembuat-batu-bata-dia-tak-lupa-bersyukur-608639.html

Artikel Terkait:

 

Kompasiana Blog Copyright © 2014 -- Powered by Blogger