Alkisah ada sekelompok pria separuh baya berjas dengan logo partai mencolok duduk dalam sebuah meja RM Padang. Mereka duduk disamping saya. Seorang diantaranya berbicara diselingi tawa. “Yang terpenting sekarang tu gimana supaya nama saya cepat dikenal publik, bisa propaganda, ya nggak apa-apalah kecil-kecilan lewat media sosial juga. Biar tim sukses saya yang muda-muda yang urus kayak gitu. Ntar kan kalau sudah jadi, kan semua kecipratan, ha ha ha ha”
Seorang yang disebelahnya yang masih terlihat muda memastikan pernyataan itu ; “Serius Bang?”, si caleg menjawab : “Ya liat saja nanti, elu atur aja temen-temen lu yang bisa back-up”. Hampir bisa dipastikan, seorang yang berlagak bos itu adalah caleg.
Mendengar hal itu bikin saya malas melanjutkan makan, bukan karena tidak nafsu, tapi ya karena nasi yang saya makan sudah habis, hehehe.
- - - - - - -
Gawat ya kalau pemikiran calon pemimpin kita kayak gitu. Mereka cuma menyiapkan diri untuk jadi pemenang dan dimenangkan. Banyak sih contohnya. Propaganda, pencitraan dan manipulasi, serta justifikasi akan siap dilepaskan dari logistik kepala pemikiran mereka di waktu yang tak terjadwal.
Dengan orientasi semu seperti itu, sebenarnya sudah bisa kita lihat bukti dengan semakin banyak pejabat yang terjebak oleh jabatannya, karena termakan ketamakan dunia, hingga menyebabkan lupa diri, lupa istri, lupa putra-putri. Mereka menanggalkan jabatannya dengan cara memalukan dan memilukan. Satu persatu pejabat mendatangi teralis, seolah sudah ada janji dengan waiting list.
Bukan saya sok suci atau nggak doyan uang, tapi kalau kita mau jujur, seringkali ketidaktenangan muncul ketika kita tengah menikmati sesuatu yang bukan milik kita.
- - - - - - -
Saya kok jadi inget kucing saya, meskipun saya nggak menamainya seperti Tante Fidiawati yang gemati (jw : perhatian) dengan Pussi-Bobonya. Saya perhatikan betul-betul (kayak orang kurang kerjaan), bahwa tingkah si kucing saat makan ikan curian yang nganggur di atas meja makan beda dengan saat si kucing menikmati makanan yang saya sediakan khusus baginya.
Dia (si kucing) lebih tenang ketika makan dengan jatah ikan yang kita berikan, terlihat lebih santai, serta bersih hingga jilatan terakhir. Sedangkan saat menjadi kucing garong, cakarannya lebih kuat saat mencengkeram lauk yang dicurinya, teriakannya lebih keras untuk menggertak siapa saja yang menghalanginya, geraknya lebih cepat dan tidak pernah terlihat tenang ketika menikmati lauk curiannya itu.
Ternyata, nurani kucing pun hampir sama dengan manusia, tidak nyaman dengan posisinya ketika menjadi kucing garong.
- - - - - - -
Dulu, saat masih kuliah, saya pernah bekerja sebagai tenaga administrasi freelance di sebuah lembaga pendidikan di Depok, Jawa Barat. Ndilalah, tugas saya selain mencatat transaksi juga mengantarkan uang seminggu sekali ke kantor pusat yang letaknya di Mampang Prapatan. Tidak adanya fasilitas kendaraan membuat saya harus membawa uang cash paling sedikit 120juta setiap sabtu. Dan itu saya lakukan sendiri.
Meskipun pihak kantor pusat percaya pada saya, namun saya yang pada akhirnya tidak yakin dengan keadaan sekitar saya. Betapa tidak, dengan menaiki kereta Depok-Manggarai (dulu keretanya masih KRD, yang tidak pernah sepi penumpang dan banyak copetnya juga), saya begitu takut, sehingga setiap perjalanan seringkali merasa tegang hingga secara tak sadar merembes keringat dingin pada kemeja saya.
- - - - - - -
Mungkin bukan hanya saya yang pernah alami hal itu. Ada banyak orang dalam kondisi yang sama, tapi menyikapinya berbeda. Ada orang yang karena diberikan kepercayaan penuh oleh kantornya, kemudian membawa lari uang kantor dengan terencana. Atau ada juga yang ketika membawa uang titipan diberikan pinjaman kepada orang yang dikenalnya, eh ternyata si peminjam lenyap juga.
Perasaan was-was seseorang yang dititipi uang atau asset milik umum seringkali memunculkan gejolak untuk berbuat diluar kewajaran. Akhirnya kondisilah yang akan mengujinya.
Pejabat pun demikian, ketika dipercaya untuk menjalani (atau mengawasi) sebuah proyek, maka yang ada dikepala (oknum) pejabat itu adalah bagaimana agar dia bisa memperkaya diri dari proyek yang melibatkannya. Kesempatan berbuat curang tidak kecil pada kondisi ini. Dan peluang manis inilah yang seringkali menjadi puncak harapan sang caleg.
- - - - - - -
Caleg dengan orientasi materi seharusnya jadi common enemy bagi kita. Betapa kerugian-kerugian negara ditumbuhkan dari hasil pemikirannya. Bukan mengakomodir aspirasi, tapi malah memborbardir legacy. Mereka juga telah mencoreng citra caleg yang benar-benar punya niat tulus membangun negeri, sehingga yang ada dibenak masyarakat kebanyakan adalah semua caleg sama : pengeruk anggaran negara.
Maka tidak ada kewajiban kita untuk mendukung caleg yang terbukti secara sah dan meyakinkan (mengambil istilah persidangan) berpeluang menjadi kucing garong. Mulai sekarang, jelilah menilai caleg yang ada disekeliling kita. [asg]