Rapat pandangan mini fraksi-fraksi di Komisi III DPR RI telah memutuskan arah nasib Perpu No 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi atau disebut juga “Perpu Penyelamatan MK”, Rabu (18/12/2013). Hasilnya, 4 fraksi menerima, 4 fraksi lagi menolak, dan 1 fraksi abstain.
Keempat fraksi yang menerima adalah PD, Golkar, PAN, dan PKB. Keempatnya menilai Perpu ini dapat memulihkan kepercayaan rakyat kepada MK. Sedangkan fraksi yang menolak adalah PDIP, Gerindra, Hanura, dan PKS. Alasan penolakan karena Perpu ini dinilai tidak memenuhi syarat kondisi genting. Sedangkan fraksi yang abstain adalah PPP.
Nasib Perpu Penyelamatan MK ini akan ditentukan dalam Rapat Pripurna DPR RI hari Kamis, 19 Desember 2013, besok.
Yan menarik di sini adalah, sikap resmi PKS selaku anggota koalisi Setgab, yang berani menentukan sikap berbeda dengan anggota koalisi dalam Setgab lainnya. Diakui, bahwa sikap PKS ini nampak janggal karena berbeda dengan “pemimpin” koalisi, PD.
Hal yang lumrah fraksi-fraksi oposisi menolak Perpu MK. Sebaliknya, menjadi istimewa ketika penolakan itu dilakukan oleh fraksi koalisi seperti PKS. Apakah penolakan PKS ini murni politis atau tidak bukan soal. Yang jelas penolakan terhadap Perpu MK ini memang beralasan terutama bila dihubungkan dengan ketentuan konstitusi UUD 1945.
Bagi penulis, sangat aneh argumen empat fraksi yang menerima Perpu MK ini. Perpu ini dikatakan telah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa sesuai ketentuan UUD 1945 dan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Disebut aneh, karena faktanya, tidak ada yang genting di MK. Sebelum Perpu ini dilahirkan tanggal 17 Oktober 2013, MK baik-baik saja. Memang ada penangkapan terhadap Ketua MK. Akan tetapi tugas-tugas MK berjalan seperti biasa. Putusan-putusan MK tetap dijalankan. Jadi, genting apanya.
“Genting” sebagaimana dimaksud UUD 1945 dan UU No 12 Tahun 2011 haruslah dimaknai terkait pelaksanaan tugas. Terukur. Sepanjang tugas-tugas MK dapat dilaksanakan dan putusannya tetap dijalankan maka tak ada kegentingan. Soal kepercayaan rakyat itu sulit diukur.
Belum lagi Perpu MK ini mengadakan lembaga pengawasan baru terhadap MK. Hal yang seharusnya tidak menjadi wilayah eksekutif untuk mengaturnya. Perpu memang kewenangan presiden. Akan tetapi membuat aturan-aturan dunia peradilan harusnya dilakukan melalui undang-undang di legislatif (DPR RI).
Tak pelak Perpu MK ini sangat kuat aroma politisasi. Banyak kalangan mencium bau busuk kepentingan politik menuju 2014. Soal politisasi, termasuk yang halus-halus, misalnya memanfaatkan mekanisme hukum, SBY memang jagonya.
(Sutomo Paguci)