PEMBANGUNAN ACEH TIDAK SESUAI KULITAS



PEMBANGUNAN ACEH TIDAK SESUAI KUALITAS



Pemerintah Aceh banyak kasus terkuak dari pemotongan uang saku sebesar Rp 500 ribu per peserta dan penyelenggaraan rapat dari tiga hari menjadi satu hari pada kegiatan koordinasi Dinas Kesehatan Aceh , adalah buruknya wajah perencanaan dan pembangunan di Aceh yang dilaksanakan Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA). Kasus ini bukan insidental, tapi merupakan kasus jamak yang bermain elite-elite dengan fondasi rapuh. Terlepas terlepas dari permasalahan akan menjadi kasus pidana atau hanya permasalahan administratif, kasus itu telah membuka mata kita bahwa selama ini model perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi kegiatan tidak dilakukan dengan standar perencanaan pembangunan yang benar seperti terkonstitusi di dalam UU No.25 Tahun 2004 jo PP No.8 Tahun 2008 dan Permendagri No.54 Tahun 2010. Demikian pula dengan model penganggaran yang masih sangat politis, tidak transparan, tidak rasional, dan menguntungkan elite-elite yang saling menguntungkan. Sangat jauh dari semangat penganggaran sebagaimana tersebut di dalam UU No.17 Tahun 2003 jo PP No.58 Tahun 2005 dan Permendagri No.21 Tahun 2011.


Perencanaan yang buruk maka kasus ini dengan mudah memperlihatkan bahwa buruknya implementasi program kegiatan daerah tidak dapat dilepaskan dari buruknya perencanaan. Bukan sebuah kisah baru lagi lagi permasalahan pembangunan Aceh, memang telah menyakiti bahkan di Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda Aceh). Perencanaan buruk dan bodoh berlanjut pada Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) yang minim kritisisme, rasionalisasi, dan evaluasi. Maka tak perlu merasa kaget jika kegiatan yang dihasilkan akan asal-asalan, bernuansa pragmatis, tanpa kemanfaatan dan nilai keberlanjutan. Siapa yang diuntungkan? Bukan fiksi dan sihir bahwa dari hulu hingga hilir yang diuntungkan dengan model perencanaan “odong-odong” hanya elite dan kelas menengah ekonomi-politik. Mulai dari jajaran eksekutif, legislatif, partai politik, dan mafia proyek hingga konsultan, kontraktor, dan pekerja. Rakyat hanya jadi penonton setia ironi pembangunan tanpa mengerti kemanfaatan program yang dilaksanakan. Hanya mencari kambing hitam jika kontraktor dituduh sebagai biang kekacauan di tengah kompleksitas masalah yang sudah muncul di jejaring perencanaan.


Bahkan ironisnya lagi ini mulai terlihat pada postur Anggaran dan kegiatan APBA 2014. Seorang Anggota DPRK menceritakan bagaimana buruknya kualitas pembahasan RKA 2014. Ia membahasakan bahwa RAPBK 2014 di kabupatennya bagus di kemas tapi busuk isinya. Dimulai rapat pada pagi menjelang siang dan diselesaikan sebelum kumandang azan dhuhur. Pengkhiatan pembangunan ini tidak pernah terekpos karena kekuatan oposisi tidak ada tempat untuk melakukan koreksi dan politik keseimbangan sehingga gagal memunculkan model demokrasi yang sehat. Demokrasi berbasis mayorokrasi ini sangat rentan pada korupsi termasuk pada pola-pola disinformasi dan desain politik pembangunan yang berbalur lumpur oportunistisme. Problem lain yang kronis di Aceh adalah realisasi Anggaran. Setiap tahun Anggaran Aceh mengalami sisa lebih hitungan Anggaran (SILPA) yang besar. Pada Anggaran tahun 2008 SILPA Aceh mencapai 32,9% dan pada 2009 mencapai 36%. Mulai 2010, pada masa pemerintahan Irwandi, dibentuk Unit Kerja Percepatan dan Pengendalian Kegiatan (P2K) APBA yang bertujuan memonitor dan memberikan apresiasi bagi SKPA yang berhasil merealisasi program dan Anggaran secara maksimal dan memberikan “sanksi” bagi yang gagal menghabiskan Anggaran. Warna-warna menunjukkan prestasi. Jika SKPA bisa merealisasi program dan Anggaran hingga lebih 90% akan mendapat predikat biru, 80% berwarna hijau, di bawah itu ada warna kuning untuk 70% dan warna merah jika realisasi di bawah itu.


Memang dengan kaca pembesar terlihat P2K berhasil memacu SKPA “menghisap” Anggaran dengan optimal. Pada 2010 SILPA turun drastis menjadi 8% dan pada 2011 menjadi 6,5%. Pada 2012 terjadi transisi politik dari Irwandi-Nazar ke Zaini-Muzakir, angka naik menjadi 9%, tapi tetap “bagus”. Kehadiran P2K APBA yang mereplikasi peran Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) di tingkat Nasional yang diketuai Kuntoro Mangkusubroto terlihat seperti memberikan pecut bagi SKPA untuk bekerja lebih cepat. Namun masalahnya P2K hanya menggenjot persentase realisasi proyek (output) dan bukan kemanfaatan dan kualitas program (outcome). Alhasil jadilah skenario “habiskan Anggaran dengan cara apapun dan cepat, jangan tanya manfaatnya”. Jangan heran alam bawah sadar pelaksanaan program terjeblos “khilaf” seperti terlihat pada kegiatan Dinas Kesehatan, yang kepala dinasnya sekaligus Ketua P2K APBA. Belum lagi tahun ini akan muncul kontradiksi baru, ketika kehadiran P2K gagal menggenjot program dan menghasilkan program-program yang cacat, plus “Anggaran yang belum terserap Rp 4 triliun lagi”.


Banyak hal yang belum komprehensif mengapa hal itu terjadi? Ibarat sebuah mesin pengolah, P2K APBA hanya mengawal rencana program yang tidak berkualitas dengan tujuan akseleratif dan bukan kualitatif. Rubbish in, rubbish out. Cara pandang yang salah lainnya adalah menyelesaikan masalah dengan perspektif parsial dan berbasis pada reaksi. Alih-alih memperbaiki fungsi Bappeda, yang dilakukan malah membuat kelembagaan baru dan menambah birokratisasi. Belum lagi kamuflase penyerapan Anggaran dengan model non-pembangunan. Salah satu postur bongsor APBA 2013 adalah melambungnya Anggaran perjalanan dinas pejabat. Kritik atas SK Gubernur Nomor 090/460/2013 tentang besaran perjalanan dinas hanya jadi angin sepoi-sepoi. Termasuk besarnya Anggaran bantuan sosial, yang menyebabkan Kemendagri harus membuat koreksi RAPBA tertebal sepanjang sejarah, yang sejak awal bermotif kandhuri politek dibandingkan program kesejahteraan komprehensif.


Dari hasil pemantauan di lapangan kita dengan mudah menemukan kesiasiaan ini: Bangunan yang tidak difungsikan, duplikasi program, proyek yang tidak masuk perencanaan, proyek bodong-bodong, proyek yang dianggarkan melebihi target, proyek direncanakan tapi tidak dianggarkan, proyek fiktif, dan lain-lain. Sementara kekacauan ini seharusnya dievaluasi secara kritis dan mendalam. Sayangnya itu tidak dilakukan dan kita harus bersiap ‘tsunami’ berulang. Rencana Anggaran dan pembangunan yang tidak berpihak kepada masyarakat dan tanpa desain teknokratis dan ilmiah pasti akan merusak kekebalan ekonomi-politik dan membangkrutkan Aceh. Jika Jokowi dan Ahok dianggap sebagai duet kepala daerah paling berhasil itu karena mereka menjadi contoh dan pembeda dari rezim sebelumnya. Mereka benar-benar menjadi teladan dalam kepemimpinan dan diaktualisasikan secara manajerial dan birokratis dengan kewibawaan dan pikiran-pikiran orisinal. Mereka mau pasang badan untuk kritik dan ancaman, tidak takut tidak populer, menjalankan pemerintahan dengan tulus, sederhana, transparan, partisipatif, dan tidak banyak retorika. Itu yang masih kurang dalam kepemimpinan Zaini-Muzakir; keteladanan dan sikap sebagai pilot yang cerdas dan siap mengambil resiko. Jangan lagi beralasan bahwa birokrasi sedemikian buruk karena merekalah pimpinan birokrasi itu. Jangan berdalih tekanan politik, karena merekalah pucuk pimpinan politik itu. Jangan lagi tunjuk Jakarta, karena bukan Jakarta yang membangun Aceh, tapi di tangan mereka pembangunan Aceh dikemudikan. Jangan seperti akhir kisah cerpen tahun-tahun yang silam (1956) ketika pekerjaan mulia tidak dinilai sebagai kebaikan, malah dianggap sebagai dosa dan berakhir penuh penyesalan, yang tidak berarti lagi.


Banda Aceh, 16 Desember 2013


RAHMATSYAH




sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/12/18/pembangunan-aceh-tidak-sesuai-kulitas-620554.html

Artikel Terkait:

 

Kompasiana Blog Copyright © 2014 -- Powered by Blogger