KE-GANJIL-AN DPT



Tanpa terasa pemilu 2014 semakin mendekat. Waktu yang tersisa tinggal 5 bulan waktu normal. Instrumen dan perangkat pemilu pun mulai ditata atau dilengkapi. Mulai dari persoalan data daftar pemilih tetap (DPT), peserta pemilu, pengadaan logistik sampai penyelenggara pemilu. Baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri. Institusi yang diberikan otoritas sebagai penyelenggara terlihat sibuk mempersiapkan segala sesuatunya hari demi hari. Jajaran KPU dan Bawaslu tingkat pusat hingga daerah tidak ada yang luput dari kesibukan. Harus diakui bersama bahwa tanpa kerja keras penyelenggara, pemilu 2014 tidak akan berjalan sesuai harapan. Maka dari itu tidak ada kata berhenti untuk terus bergerak. Itupun bukan sekedar bergerak. Mesti ada gerakan yang lebih sigap dan tangkas. Mengingat tahapan-tahapan pemilu sangat banyak. Butuh diselesaikan satu per satu. Setidaknya tepat dengan jadwal yang sudah ditetapkan.


Jika kita merujuk pada jadwal terkait tahapan pemilu 2014, kini waktunya pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih. Ini merupakan salah satu agenda paling penting dalam penyelenggaraan pemilu. Data tentang daftar pemilih tetap (DPT) telah menjadi bagian utama dalam setiap perhelatan pesta demokrasi. Bahkan boleh dikatakan sebagai ruh pemilu karena disitulah penentu tahapan yang lain. Banyak tahapan lain yang berhubungan erat dengannya. Misalnya, pengadaan logistik yang sangat tergantung dengan jumlah DPT. Begitupun dengan tempat pemungutan suara yang harus dirasionalkan dengan jumlah DPT. Peserta pemilu pun sangat menggantungkan srategi pemenangannya pada jumlah DPT. Jadi semakin jelas betapa pentingnya persoalan daftar pemilih tetap.


Belum lagi dikaitkan dengan pemaksimalan pemilihan langsung yang ideal. Yang mana Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu negara percontohan pemilihan langsung secara khusus dan demokrasi secara umum di dunia. Dua pemilu sebelumnya (2004 dan 2009) sudah cukup lumayan. Meskipun kekurangannya masih banyak. Kekurangan yang ada masih bisa diwajarkan karena waktu itu belum banyak referensi ideal untuk konteks Indonesia. Untuk pemilu kali ini, harus jauh dari kekurangan. Terutama yang menyangkut dengan DPT. Jangan sampai urusan ini lebih buruk dari sebelumnya. Kita cukup mempelajari tren masa lalu demi kesuksesan pemilu 2014 mendatang.


Demokrasi mengharuskan ada partisipasi pemilih. Semakin tinggi tingkat partisipasi maka citra demokrasi akan lebih baik. Poin partisipasi dapat dilihat dari 2 sudut pandang. Pertama, melihat partisipasi warga negara yang mendaftarkan diri atau didaftarkan jadi pemilih. Kedua, melihat partisipasi berdasarkan tingkat pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Sebelum berbicara banyak tentang partisipasi pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Partisipasi warga yang mendaftar atau didaftar jadi pemilih menjadi pokok perhatian terlebih dahulu. Berawal dari pemantapan partisipasi yang pertama, kita dapat melakukan tindakan pencerdasan untuk partisipasi yang kedua. Tidak mungkin poin yang kedua maksimal kalau poin yang pertama tidak dimaksimalkan.


Atas dasar itu semua, wajar ketika KPU (Komisi Pemilihan Umum), Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) beserta pihak yang terkait telah menyepakati sekaligus menetapkan rekapitulasi nasional Daftar Pemilih Tetap (DPT) Anggota DPR, DPD, DPRD untuk pemilu 2014. Dalam rekapitulasi tercatat sebanyak 186.612.255 orang DPT dalam negeri dan 2.010.280 orang DPT luar negeri. Pasca rapat pleno terbuka, boleh dikatakan bahwa salah satu tahapan penting telah ditunaikan. Tetapi, ini tidak berarti urusan telah selesai begitu saja. Penetapan rekapitulasi data yang telah diputuskan beberapa waktu lalu masih menyisakan banyak pertanyaan. Muatan utamanya terkait dengan tingkat akurasi data.


Keakuratan data pemilih dalam pemilu tidak boleh dipandang biasa. Kesalahan sedikit saja dapat berakibat fatal dalam pesta pemilu. Sebagaimana telah diketahui bahwa ada hubungan terikat antara jumlah pemilih dengan tahapan lainnya. Tidak ada arti sebuah pemilu kalau pemilihnya tidak jelas. Sebab menghilangkan hak warga negara dalam memilih dan merekayasa data pemilih merupakan pelanggaran besar demokrasi. Bisa saja diperkarakan pada ranah hukum. Pasca rapat pleno terbuka nasional perlu didiskusikan lebih lanjut bahwa dari data itu apakah sudah tidak ada keraguan didalamnya. Seperti masalah nama ganda atau nama tidak jelas. Nama ganda dan nama tidak jelas sering kali menjadi penyakit akut dalam DPT.


Karena itu, penting dipertanyakan seberapa besar ketelitian penyelenggara dalam mengamati kedua masalah ini sehingga tanpa ragu-ragu memutuskan DPT sejumlah itu. Apalagi data kependudukan masih simpang siur plus kinerja tim verifikasi data cenderung tidak fokus pada substansi. Maksudnya, tahapan-tahapan yang terkait pemilu terkadang hanya dilakukan sekedar formalitas. Petugas-petugas lapangan sering kali kurang seksama memperhatikan kualitas data lebih lanjut. Buktinya, hasil verifikasi akhir di tingkat pusat masih menemukan sebanyak 10,4 juta orang yang datanya belum lengkap. Jumlah yang tidak sedikit. Sejumlah penduduk salah satu provinsi di Indonesia. Kira-Kira siapa mereka yang sebanyak itu. Kita belum bisa memastikan itu berwujud atau tidak sebelum dilakukan pemantauan langsung ke lapangan.


Sementara itu, masalah yang tidak kalah pentingnya ialah pengakomodasian seluruh hak suara warga negara. Pada hakikatnya, semua warga negara yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah pernah kawin sudah disebut pemilih. Oleh karena itu pemerintah tidak boleh membatasai ruang warga untuk ikut dalam pemilu. Aturannya sangat jelas dalam perundang-undangan. Lebih lanjut, kalaupun KPU mensiasati kebijakan daftar pemilih khusus bagi warga negara yang belum terdaftar di DPT. Kiranya perlu untuk dipertanyakan kembali. Terlebih pada hubungannya dengan surat suara. Maksudnya, mungkin saja terjadi kekurangan surat suara di TPS nantinya akibat membludaknya daftar pemilih khusus. Mengingat surat suara yang dicetak hanya dirasiokan dengan DPT. Selanjutnya, kalau ini disiasati lagi dengan memperbanyak surat suara atau mengambilnya dari cadangan surat suara per daerah pemilihan (Dapil) maka perlahan dan pasti kita akan diperhadapkan dengan tingkat keamanan surat suara.


Memang ada sedikit berbenturan antara menjunjung hak warga negara dengan upaya tertib pemilu. Disatu sisi, kita tidak boleh membatasi hak partisipasi warga negara. Disisi lain, perlu ada penertiban administrasi sejak awal agar tahapan demi tahapan bisa berjalan lancar sesuai dengan mekanisme. Apapun masalahnya, sebenarnya semua dapat diatasi. Khusus untuk masalah DPT, ini terlalu dini ditetapkan disaat keadaan data masih belum sempurna secara totalitas. Data yang tidak lengkap mesti diverifikasi dulu sebelum ditetapkan rekapitulasinya. Jangan sebaliknya yang mana DPT tetap dipaksakan untuk ditetapkan disaat masih ada masalah. Apa jadinya seandainya 10,4 juta orang datanya fiktif. Suatu kelakuan yang tidak mencerminkan watak kecakapan kalau ingin diplenokan kembali.


Pada konteks lain, ada dinamika unik yang mesti ditindaklanjuti. Yakni posisi pemilih pemula yang baru menjelang umur 17 tahun. Berdasarkan sosialisasi KPU, remaja yang disaat tanggal 9 April 2014 sudah berusia 17 tahun maka boleh ikut memilih. Keberadaannya didukung oleh argumentasi hasil tafsiran dari regulasi yang berlaku. Tetapi bisa berbenturan dengan regulasi lainnya dimana dipersyaratkan nomor induk kependudukan (NIK) bagi pemilih. Untuk mengurus NIK sendiri mesti sudah berumur 17 tahun. Bukan baru menjelang umur 17 tahun. Sehingga remaja yang dimaksud tidak mungkin memiliki NIK per 9 April 2014. Remaja yang berada pada situasi seperti ini perlu perlakuan bijak. Selain itu, status mutasi pemilih juga perlu ada perlakuan yang tidak keliru agar bisa menggunakan hak suaranya. Sederatan persoalan yang telah dikemukakan diatas sebaiknya ditindaklanjuti dengan sebijak-bijaknya.



sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/11/08/ke-ganjil-an-dpt-606263.html

Artikel Terkait:

 

Kompasiana Blog Copyright © 2014 -- Powered by Blogger