Mendengarkan Kata Hati




Aku terinspirasi dari acara Pak Mario Teguh, judulnya waktu itu Jodoh Express. Bukan, aku menonton bukan karena ingin cepat dapat jodoh atau bagaimana menjadi pribadi yang bisa enteng jodoh atau apa. Aku belum memikirkannnya.


Di acara itu ada sesi curhat. Seorang wanita yang berusia 25 tahun menceritakan kisah hidupnya yang menikah di usia 20 tahun dan pada saat dia hamil beberapa bulan dia ditinggalkan suaminya. Lalu kemudian dia menikah lagi namun sayangnya dia tidak dapat nafkah oleh suaminya dan berjuang sendiri yang katanya bukan dari nol tapi dari minus.


Lalu bagaimana mencari seseorang yang tepat. Pak Mario Teguh memberi nasehat bahwa dia mungkin selama ini terlalu banyak menganalisis, menghitung-hitung, merasa mapan dan masa depannya akan mudah sehingga melupakan kata hati. Hati yang baik akan membawa kepada jalan yang baik.


Mendengarkan kata hati. Seberapa sering ya aku atau mungkin Anda mendengarkan kata hati. Mungkin di saat memilih pekerjaan, pendidikan, jabatan, jodoh, tempat tinggal… biasanya kita hanya menganalisa baik dan buruknya, untung rugi, menghitung-hitung dan membuat keputusan yang mungkin bertentangan dengan kata hati. Mendengarkan pendapat orang lain bahwa itu akan baik untuk kita. Kita memilih sesuatu karena menurut semua orang itu akan baik untuk kita. Kita memilih karena pendapat orang lain dan mengindahkan kata hati. Hanya percaya pada analisa yang juga tidak selalu tepat.


Terkadang saat kita memilih, logika dan hati berseberangan. Ini yang kadang membuat kita bingung memilih. Pikiran dan hati saling tarik-menarik sehingga membuat kita terkadang tak bisa membuat sebuah keputusan dan mengekor pendapat orang lain saja.


Sebagai seorang laki-laki aku akui aku memang sering mengedepankan logika dalam mengambil keputusan daripada dengan mendengarkan kata hati. Dan bukan sekali dua kali terjadi hal yang tidak mengenakkan terjadi karena aku memaksakan sesuatu karena itu yang aku pikir baik namun jauh di pedalaman hatiku ada suara-suara halus yang mengatakan sebaiknya aku tidak melakukannya.


Ini seperti aku memaksakan pergi mengantarkan seorang teman padahal hatiku saat itu tidak mengijinkan dan menyarankan untuk dibatalkan saja. Aku tidak peduli dan aku tetap pergi. Alhasil di perjalanan rantaiku putus dan harus dorong motor cukup jauh. Upah perbaikan yang berkali-kali lipat dari normal sampai pulang dingin-dinginan.


Ini seperti memilih nonton sebuah film di bioskop. Kita tidak tahu apa-apa tentang film yang ditayangkan dan harus memilih salah satu untuk ditonton. Teman-teman yang lain hanya melihat dari poster yang mungkin terlihat menarik atau dibintangi artis yang sudah cukup populer. Suara-suara di hatiku menyarankan jangan film yang itu. Gak akan rame. Tapi aku tidak mengatakannya kepada teman-teman karena aku tidak punya alasan yang kuat bagaimana meyakinkan mereka. Dan benar saja film yang mereka pilih tidak semenarik di posternya. Keluar dari bioskop hatiku bilang kalau benerkan gak rame filmnya. Ya sih, bener. Tapi kenapa tadi gak ada suara-suara untuk memilih film mana yang akan rame. Pikiranku membela diri.


Atau seperti aku di perjalanan. Aku menaruh hapeku di kantong jaket sebelah kiri. Rasanya ada suara-suara yang menyentil di hati dan mengatakan agar aku meminggirkan motorku, berhenti dan memasukkan hape ke tasku. Langsung saja pikiranku menimpali…ah aman kok. Aku melaju kencang. Sebuah angkot rem mendadak. Aku di belakangnya ngerem dan meluncur melebar ke sebelah kiri. Miring. Sial, hampir saja aku jatuh. Untunglah tidak terjadi. setelah melewati sebuah pasar dan ingin menelpon seseorang dan ahhhhhhhh hapeku raib. Padahal sudah aku isi pulsanya buat satu bulan dan juga sudah daftar paket internet buat satu bulan juga.


Dan mungkin pengalamanku di bulan Ramadhan. Waktu itu habis gajian dan aku menyimpan semua uang jajanku di dompet dan berencana makan mie ayam dengan seorang teman. Hatiku menyentil bilang sebaiknya gak usah bawa dompet. Ah aneh aja. Biasanya juga kan bawa dompet kan klo razia sama polisi gimana pikiranku bercanda. Setelah pulang dari warung mie ayam, setengah perjalanan dari rumah sial dompetku kemana. Kami bolak-balik kayak setrikaan tapi dompet itu tidak ditemukan juga. Hiks pilu soalnya semua uang jajan satu bulan ada di dompet itu. Belum lagi SIM, KTP, ATM semua disitu. Untungnya hari berikutnya seseorang mengaku menemukan dompetku dan mengaku pernah bertemu denganku tapi tidak bisa mengingatku dengan pasti. Alhamdulillah semua isi dompet utuh dan tak ada kurang sedikit pun.


Lalu pengalamanku mendengarkan kata hati? Waktu itu aku naik kelas 2 SMA, kami harus memilih jurusan. Nilaiku cukup baik dan pantas masuk IPA. 8 hari di kelas IPA pikiranku blank. Hatiku merayu-rayu agar aku masuk IPS saja. Pikiranku bingung apa yang salah dengan aku di kelas IPA toh aku tidak masalah dengan pelajaran atau suasana di kelas. Entahlah waktu kenapa pada akhirnya aku duduk di kelas IPS dan merasa jadi manusia alien. Halooo padahal banyak yang ingin masuk IPA tapi nilainya tidak terlalu bagus. Dan aku begitu saja dengan pedenya berubah jurusan. Tapi pada akhirnya itu adalah keputusanku yang paling aku syukuri. Aku bertemu dengan teman-teman yang banyak menginspirasiku dan aku pikir jika aku harus hidup seribu kali pun aku akan tetap ingin bertemu dan berteman dengan mereka.


Temanku yang masih pendidikan untuk menjadi tentara menelponku dan memintaku merentalkan sebuah mobil soalnya dia akan libur besok hari. Aku ingin menjawab tidak tapi yang ada mulutku bilang iya. Ah sial kenapa salah ngomong. Aku gak tahu dimana rental mobil malam-malam begini. Ngapain sih nyari mobil malam beginian, paling banter juga kelayapan kagak jelas kayak malam minggu kemarin pikirku. Mana mereka bawa mobilnya gila-gilaan. Asli seperti kayak bertaruh nyawa ikut mereka di dalam mobil.


Tapi suara kecil di hatiku menyuruhku menelpon seorang teman yang lain. Aku menurut saja. pikiranku sudah malas karena resikonya cukup besar merentalkan mereka mobil. Bisa-bisa masuk surat kabar yang ada. Dan dengan mudahnya dapat mobil. Gak tahu kenapa tapi kayak dimudahin aja gitu urusan mereka.


Aku entah kenapa mau-mau aja hujan-hujanan jemput teman yang satunya buat bawa mobil. Klo keadaan normal aku mah ogah. Biasanya juga egois dan sekali bilang tidak tetap tidak. Tapi hari itu entah kenapa hatiku ringan saja melakukan semuanya. Di jalan, macet, hujan-hujanan di dalam hati aku berdoa semoga ini bukan acara jalan-jalan, mabuk-mabuk gak jelas, dan mereka bawa mobil dengan sesadar-sadarnya. Insya Allah gak begitu kata hatiku menenangkan. Dan memang benar tidak seperti yang aku kira-kira. Kali ini bukan buat jalan-jalan tapi buat mengantarkan teman yang terancam dikeluarkan dari pendidikan dan mereka berencana nyari obat atau dukun ajaib yang bisa nyembuhin tulang yang seperti radang atau bengkak atau kanker aku gak ngerti. Entah dapat info darimana pergilah malam itu di bawah guyuran hujan ke dukun yang katanya bisa menangani itu. Gila jauh banget dan serasa kayak di dunia lain tempatnya.


Lagi-lagi pikiranku meragukannya. Menyembuhkan yang seperti radang di tulang kering itu dalam semalam? Wolverine kali ya… emang ada ya kayak gituan, yah tapi buktinya sekarang temanku itu masih di pendidikan dan kelihatan sudah sembuh. Emang ada yang seperti itu katanya. Secara medis sulit sembuh tapi dari segi pengobatan alternative itu bukan hal yang mustahil. Aku bersyukur saat itu mendengarkan kata hatiku. Coba seandainya saat itu aku hanya mengandalkan pikiranku maka seorang teman tidak terselamatkan.


Bagaimana mengetahui itu kata hati atau pikiran. Entahlah, apa tiap orang berbeda atau sama tapi klo suara hatiku seperti sengatan atau ngilu yang menyentil di dada. Pikiranku biasanya lebih kacau, rumit dan menimbang-nimbang dan begitu banyak suara.


Seperti kata Pak Mario Teguh bila pikiran kita terlalu berisik maka matikan dulu. Dengarkan hati. Hati yang baik membawa kebaikan. Aku setuju. Aku kini bila dihadapkan pada pilihan dan pikiranku terlalu berisik untuk didengarkan aku memilih kata hati. Dan ternyata menyenangkan juga, kini aku lebih bisa memilih dengan cepat buku mana yang akan aku beli di toko buku tapi isinya tidak akan mengecewakanku. Memilih film, memilih jalan tembus, pergi ke suatu tempat, aku hanya perlu menguping yang ada di dalam hatiku, bila ada semacam keberatan maka aku tidak akan melakukannya. Bila tidak ada suara apa pun maka aku akan melakukannya. Lalu bagaimana dengan pikiranku? Pikiranku hanya membantuku untuk membuat kriteria dimana hatiku tak akan bersuara yang aneh-aneh.


Kesimpulan yang aku dapatkan selama ini, bila kita memilih berdasarkan logika saja tanpa mendengarkan kata hati, biasanya menyenangkan di awal tapi tidak selalu baik di akhir. Bila kita mendengarkan kata hati mungkin kita akan berhadapan dengan banyak pendapat orang, kebiasaan atau norma dan sangat tidak nyaman di awal tapi biasanya membawa kebaikan dan pelajaran yang baik di akhir. Yang penting dalam memilih adalah jangan sampai mengindahkan pendapat Tuhan tentang pilihan yang kita pilih. Mintalah petunjuk-Nya. Di hati pun cukup karena itu wadah yang paling tepat untuk mendengarkan bisikan Tuhan. Mungkin jalan yang Tuhan berikan tidak sekaligus tapi setapak demi setapak, langkah demi langkah, dan setiap langkah itu kita maju.


Ehmmmm gimana? Masih meragukan kata hati Anda?












sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/08/mendengarkan-kata-hati-606137.html

Artikel Terkait:

 

Kompasiana Blog Copyright © 2014 -- Powered by Blogger