Peluang Jokowi Presiden Nyaris Nol, Aburizal Bakrie Tertinggi



Peluang Jokowi nyapres hampir nol. Justru keadaan ini memberi peluang Aburizal Bakrie menjadi Presiden RI - akibat rakyat tak diberi pilihan karena sistem pemilu legislatif yang salah kaprah. Benarkah demikian dan apa alasannya? Tulisan ini menyoroti fenomena Golput dan akibatnya yakni status quo dan pemimpin yang tak legitimate, termasuk para anggota DPR/D-nya.


Tujuan pemilu legislatif pada akhirnya bermuara pada dipilihnya Presiden RI, pemimpin bangsa dan negara. Uraian tentang partai politik menjelang Pemilu 2014 ditujukan agar publik tidak salah pilih partai yang pada akhirnya memilih pemimpin bangsa. Itu tujuan mulia pemilu. Namun yang terjadi justru pemilu tak sepenuhnya mampu menghasilkan pemimpin yang benar.


Pengalaman dua pemilu 2004 dan 2009 menghasilan para anggota legislatif yang tak membela rakyat namun membela kepentingan partai dan kelompoknya. Akibatnya rakyat tak antusias memilih. Dengan sistem pemilu dan pilpres 2014, orang seperti Joko Widodo menjadi mustahil menjadi presiden. Justru peluang Aburizal Bakrie sebagai presiden sangat besar.


Maka, kali ini, mari kita bahas penyebab para pemilih menjadi Golput alias tak mau memilih. Jumlah pemilih yang tak menggunakan hak pilihnya setara dengan 30-40 juta orang. Sistem dan pola penyelenggaraan pemilu yang tidak transparan pun menjadi salah satu sebab rakyat apatis terhadap pemilu. Apakah hanya itu penyebabnya? Terdapat beberapa sebab pemilu tak diminati.


Pertama, sistem pemilu yang masih mengandalkan gambar, kurangnya sosialisasi calon anggota legislatif di semua tingkatan DPR/D, menyebabkan para caleg tak dikenal oleh publik. Partai pengusung caleg pun semuanya menampilkan wajah yang tak dikenal. Sementara wajah yang sudah dikenal justru adalah para koruptor, para anggota legislatif yang hanya peduli pada partai dan golongannya - jauh dari cita-cita memajukan bangsa dan negara.


Kedua, platform dan ideologi para partai semuanya seragam. Tak ada perbedaan signifikan antara satu partai dengan partai lainnya. Pembentukan partai politik juga hanya didasari oleh keinginan untuk berkuasa. Pembentukan partai politik seharusnya didasari oleh keinginan luhur untuk melayani rakyat dan negara. Namun yang terjadi justru partai menjadi alat bagi para penguasa partai untuk dilayani rakyat dan negara.


(Fakta menggelikan adalah para anggota DPR mendapatkan uang pensiun padahal mereka memangku jabatan politik bukan jabatan struktural dan bukan sebagai pegawai negeri: menjabat lima tahun atau kurang, maka pensiun Rp 6 juta per bulan seumur hidup - sementara UMP bagi buruh tak lebih dari Rp 2,4 juta tahun 2014. Bahkan koruptor pun mendapatkan uang pensiun!)


Ketiga, partai bukan menjual platform dan agenda partai namun menjual calon penguasa yang aneh bin ajaib. Para calon penguasa yang disorongkan ke tengah masyarakat juga mereka yang tak kredibel di mata rakyat. Partai terkategorikan menjadi dua kelompok: yang anehnya kedua kelompok tersebut mengerucut menjadi satu ketika sudah berkuasa dengan nama Koalisi.


Kelompok Golkar and Associates. Uraian tentang partai politik seperti Golkar, Nasdem, Gerindra, Hanura, Demokrat sebagai para partai dengan satu induk yakni Golkar sebagai bukti. Semua partai ini tak memiliki perbedaan dan yang membedakan hanya para pentolannya yang akan diusung menjadi calon presiden. Perhatikan siapa calon mereka? Golkar berusaha menjual si lumpur Lapindo Aburizal Bakrie, Nasdem menawarkan si sakit hati Suryo Paloh. Gerindra menawarkan ksatria Prabowo. Hanura menawarkan manusia masa lalu Wiranto. Demokrat menawarkan si culun Pramono. PDIP yang menyatakan diri oposisi pun tak menawarkan pemimpin selain Megawati yang tak kapabel dalam memimpin.


Kelompok pengekor. Pun para partai lainnya pun memiliki kecenderungan yang sama menjadi pengikut atau pengekor. Yang dimaksud pengekor adalah para partai meniru taktik dan sifat partai Golkar dalam menjalankan negara. Golkar menjadi pemimpin dari Koalisi Pendukung SBY. Golkar and Associates, yakni PAN, PPP, PKB, dan PKS yang membumbui diri dengan menjual agama sebagai topeng buruk korupsi.


Para partai ini bermuara mengusung presiden dan tak menawarkan perbedaan apapun kecuali menjual pentolannya. PAN menjual si rambut putih Hatta Rajasa. PPP dengan Surya sebagai tokohnya. PKB menjual Cak Min. PKS menjual si wani piro Hidayat Nur Wahid atau Luthfi Hasan Ishaaq. Sementara partai seperti PKPI dan PBB hanya akan menjadi penggembira dengan Sutioso (PKPI) dan Yusril IM sebagai jualannnya.


Keempat, selain tidak bisa dilihat perbedaannya, para partai yang seragam dan tak ada bedanya tersebut membuat rakyat tak peduli dengan pemilu alias Golput. Akibat dari Golput pun dimanfaatkan oleh para partai - mereka senang dengan jumlah Golput yang besar karena 90% pemilih Golput adalah orang kritis. Dengan tak ada partai yang benar maka kelompok ini tak memilih; pada saat yang bersamaan, para partai memusatkan mobilisasi dan pengaderan yang menciptkan militansi partai.


Mereka inilah pemilih yang menyebabkan status quo. Yang menjadi anggota DPR/D ya orang itu-itu lagi. Maka yang diajukan sebagai capres dan menjadi presiden ya itu lagi itu lagi. Maka lupakan Jokowi menjadi Presiden RI. Yang menjadi presiden pun tak akan jauh dari Aburizal Bakrie, Luthfi Hasan Ishaaq, Pramono Edhie Wibowo, Suryadharma Ali, Rhoma Irama, Farhad Abbas dan tentu Ahmad Fathanah jika tuhan menghendaki seperti doa para kader taklidun partai agama PKS.


Salam bahagia ala saya.




sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/11/08/peluang-jokowi-presiden-nyaris-nol-aburizal-bakrie-tertinggi-608796.html

Artikel Terkait:

 

Kompasiana Blog Copyright © 2014 -- Powered by Blogger